Kamis, 09 Agustus 2012

Jawaban atas Blog Dian Paramita (Bagian 1)


Assalamu’alaikum warrahamatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, akhirnya blog ini update juga hehehe. Untuk materi blog ini, saya akan menjawab sebuah tulisan oleh Dian paramita disini

Mengapa saya perlu menjawab tulisan dia? Ada dua alasan:
1.      Dengan dalil Al Qur’an Surat Al Hujuraat ayat 6 yang berisi barang siapa yang mendengar berita dari kaum fasik maka periksalah dengan teliti.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS Al Hujuraat : 6)
2.      Pertanggungjawaban intelektualitas saya ketika membawakan materi tentang Anatomi JIL di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, pada hari Jum’at, 8 Juni 2012. Karena ini diadakan di wadah resmi dan menjunjung tinggi intelektualitas dan almamater saya, maka dirasa perlu dan wajib untuk melakukan  jawaban dan klarifikasi atas tulisan dari saudara Dian Paramita itu.

Kamis, 26 Juli 2012

Apakah amalanku termasuk bid'ah?


Setiap muslim berpedoman kepada Al Qur'an dan Al hadits dalam hidup di dunia, dan memang fungsi manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah سبحانه وتعال (Al Dzariyat ayat 56). Perlu kita ketahui, dalam ushul fiqh, dikenal aturan bahwa semua ibadah itu pada dasarnya adalah haram, kecuali ada dalil sahih yang memerintahkannya. Begitu pula dengan masalah muamalah pada dasarnya adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Inilah pedoman kita dalam beribadah dan bermuamalah.

Lalu, setiap hari sering kita mendengar tentang bid'ah. Apa sih bid'ah? Apakah amalanku termasuk bid'ah? yuk kita bahas. Bismillah.

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.

Kamis, 17 Mei 2012

Ladang Dakwah

16 Mei 2012

Td malam, jam 8, dapat BM dr kawan di Samarinda "Tggl 27 kita msuk Muharram. Barang siapa puasa 2 hari d awal muharram seakan ibadah 2 thn"

Lanjutanya "barangsiapa mengingatkan orang lain maka seaka2 beribadah 80 tahun". Begitu isi BM-nya.

Langsung gue bales "Cuy, bulan Muharram itu udah 6 bulan yg lalu" die jawab "gue cuma nerusin broadcast doank"

Yang menjadi persoalannya adalah "koq dia ga tahu bulan Muharram dah lewat?" Apakah hanya sekedar nerusin broadcast?

Sedih rasanya, kawan sendiri tidak tahu penanggalam hijriyah. Penanggalan yg digunakan umat Islam atas usulan Umar ibn Khattab RA.

Kita sendiri, tahunya bulan2 hijriyah itu cuma Ramadhan (bulan puasa) sama Syawal (idul fitri). Sisanya? Mungkin kita ga pada hafal.

Senin, 14 Mei 2012

Sekilas Kisah Imam #Syafii

Diposkan di twittter: 14 Mei 2012

1.Suatu hari Ishaq bin Rahawai, Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma'in dlm sebuah musim haji datang ke sebuah pengajian para syeikh.

2.Mereka heran dgn pengajian,yang pesertanya dari berbagai kalangan, muda dan tua. Tetapi yang mengisi kajian masih begitu muda.  

3.Ternyata yg mengisi kajian tersebut adalah Muhammad bin Idris., yg kemudian kita kenal dgn Imam Syafi'i.

4.Imam Yahya bin Ma'in kemudian ingin menguji , dgn tujuan mengetahui, apakah perkataannya layak didengar atau tidak.

5.Imam Yahya menguji dgn sebuah hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم yaitu "biarkanlah burung dalam sangkarnya".  

6.Menurut Imam Ahmad, tafsir hadits "biarkan burung dalam sarangnya" adalah malam hari. Lalu mereka pun bertanya pada


Sabtu, 07 April 2012

Ghibah yang Dibolehkan

Ghibah adalah salah satu perbuatan yang tercela dan memiliki dampak negatif yang cukup besar. Ghibah dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhuwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah berarti dia telah menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Walaupun telah jelas besarnya bahaya ghibah, tapi masih banyak saja orang yang melakukannya dan menganggap remeh bahaya ghibah (mengum-pat/menggunjing).

Akan tetapi ternyata ada beberapa hal yang mengakibatkan seseorang diperbolehkan untuk mengumpat/menggunjing. Namun sebelum mengetahui kriteria masalah apa saja yang membolehkan seseorang untuk melakukan ghibah, ada baiknya kita mengetahui dahulu apa itu ghibah.

Definisi Ghibah

Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah e berikut ini:
"Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci." Si penanya kembali bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?" Rasulullah e menjawab, "kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada)." (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah I berfirman:

" Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)
Bentuk-bentuk Ghibah yang Diperbolehkan.
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara' yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:

1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 148:

"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa' : 148).

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:

"Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. An-Nisa: 149)

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.
Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil.

3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal.
Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:

a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma' ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur'an.

b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak.

c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya.
Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti.

Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.Wallahu a'lam bishshawab

Ummu Ziyad, S.S
Sumber:
Ibnu Taimiyah, Imam Syuyuthi, Imam Syaukani,, Maktabah Al-Manar, Yordania.

Selasa, 21 Februari 2012

Muslim Pluralis ????

Tuit dari @aspin4565

Mas @ulil Masak Muslim Pluralis ngetuit ginian ---> klik disini

Muslim Pluralis, mengatakan Al Qur'an ga paham perkembangan zaman ~> klik disini

Mas @ulil, ada Muslim Pluralis yang memainkan arti surat Al Ikhlas ayat 1 ~> klik disini

Mas @ulil, Muslim Pluralis mengatakan bahwa siapapun bisa menjadi Nabi ~> klik disini

Kamis, 05 Januari 2012

Kita ini Maunya Apa?

Kita ini maunya apa sih?

Dikasih pemimpin yang gila harta, minta yang sederhana
Dikasih pemimpin yang sederhana, dibilang pencitraan.

Serba Salah :D

teringat akan kisah pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib RA. suatu hari, beliau ditanya oleh seorang, mengapa pemerintahan beliau tidak sama seperti jamannya Abu Bakar, Umar dan Usman. Pada jaman Ali, fitnah begitu besar, sehingga menimbulkan perang saudara (perang Shiffin dan Jamal). Masyarakat juga ada yang tidak percaya dengan kepemimpinan Ali.

Ali RA pun menjawab "Pada jaman Abu Bakar hingga Usman, masyarakat yang ada itu seperti Saya (Ali), sedangkan pada jaman saya, masyarakatnya seperti kamu"

Sebuah jawaban yang sangat tepat dan memberikan kritik untuk sang penanya.

Saya renungkan jawaban dari Ali bin Abi Thalib ini, tersirat bahwa sebenarnya pemimpin itu tergantung sebagaimana masyarakat yang ada di dalamnya. Bukankah pemimpim itu berasal dan lahir dari komunitas yang bernama masyarakat?

Lalu, mengapa sampai sekarang kita (khususnya Indonesia) belum menemukan sosok pemimpin yang ideal? kembali ke kisah Ali tersebut, jangan-jangan yang bermasalah bukan pada pemimpinnya, tetapi pada kitanya selaku masyarakat.

Kita belum siap melahirkan pemimpin dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang terbaik, setiap pemimpin yang muncul, yang kita pikirkan bukan mendukung kinerjanya, tetapi malah sibuk mencari celah untuk menjatuhkannya. Memberikan kritik namun melupakan untuk memberi solusi yang konkrit. Sehingga, sudah berkali-kali Indonesia berganti pemimpin, tetapi belum menemukan sosok yang ideal.

Sebaiknya kita berkaca dulu kepada diri kita, apakah kita sudah siap memiliki pemimpin yang baik? pemimpin yang adil dan bijaksana?

jawaban itu, ada ditangan kita masing-masing.

Minggu, 01 Januari 2012

Bantahan "Nabi Muhammad adalah Nabi Liberal"

Berikut adalah kultuit yang disampaikan oleh @bayuprioko berisi bantahan terhadap pernyataan @ulil Abshar Abdalla terkait Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang liberal.

Mungkin agak sama & pernah baca, tapi jazakallah utk yg mau nyundul, sy mau komen lg tentng ulil yg bilang Nabi Muhammad Liberal

#salaharah RT @ulil: Bagi saya, figur Nabi Muhammad adalah figur yg liberal, humanis, rasional, dan bertindak secara kontekstual.

#salaharah RT @ulil: Role-model saya adalah Nabi Muhammad. Beliaulah yg mengilhami saya untuk berpikir liberal

#salaharah RT @ulil: Bagi saya, Nabi Muhammad adalah rasul dan nabi terakhir. kita hanya cukup meneladani. Beliau adalah Nabi yg liberal!

1.@ulil kembali bermain bola panas terhadap ide dan komentar serta taduhan berbalut fitnah

2. Setelah sukses menuduh Partai Islam juga liberal, yg diamini aktifis, kini dia menuduh Nabi Muhammad juga Liberal