Jumat, 26 April 2013

Aku, Uje dan #IndonesiaTanpaJIL


“Cukuplah kematian  sebagai pemberi nasihat dan pelajaran” – Amr bin Yasir RA

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

 Tulisanku ini diperuntukkan untuk diriku, untuk sahabat-sahabatku, khususnya sahabatku di #IndonesiaTanpaJIL. Dan terlebih pula teriring doa untuk Ustadz Jefry Al Buchori Allahuyarham yang wafat pada hari Jum’at, 26 April 2013, di sepertiga malam terakhir.

Pagi hari, pukul 06.00, ketika ku buka hapeku, ada 6 pesan yang masuk dengan isi berita yang sama, yaitu berita wafatnya Ust. Jefry Al Buchori (Uje), pukul 02.00 dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Pikiranku pun langsung berkelebat, mengingat-ingat beliau, walaupun aku belum pernah bertemu, namun ada sesuatu yang harus aku tuangkan dalam tulisan ini. Untuk diriku, untuk mu dan untuk kita semua.

Ketika mendengar berita kematian beliau akibat kecelakaan saat mengendarai motor, aku teringat kisahku 17 Februari tahun lalu. Aku mengalami pengalaman serupa yaitu kecelakan berkendara di Yogyakarta. Waktu itu, aku baru saja pulang dari sebuah sekolah di Bantul. Ketika melewati jalan besar, ada pengendara yang ingin memotong jalan masuk ke lajur kanan. Kupikir dia akan berhenti, ternyata dia tetep masuk mengambil jalur kendaraanku dan tabrakan pun tak dapat dihindari. Alhasil, kaki kiriku robek, kepalaku terbentur keras di aspal dan Alhamdulillah aku masih mengenakan helm walau helmku retak di bagian belakang. Saat itu, berulang aku beristighfar dan bertakbir, aku masih sadar dan dapat berdiri sambil dibantu oleh masyarakat sekitar dan segera dibawa ke rumah sakit. Aku pun mendapatkan “oleh-oleh” 7 jahitan dilutut kiri.

Helm pecah bagian belakang
 Berminggu kaki kiriku tak dapat ditekuk, sholat pun harus duduk, berjalan tertatih, seminggu leher terasa sakit akibat benturan. Dalam musibah yang aku hadapi, aku berpikir, Allah masih sayang padaku.., derita yang kualami saat ini, masih jauh lebih kecil dari rahmatnya, yaitu nyawa masih berada dalam tubuhku.

Bagaimana dengan orang-orang yang mengalami hal yang sama denganku, seperti halnya Uje. Bukan hanya luka yang diderita, tetapi juga nyawa yang meninggalkan raga. Inilah yang menjadi pengingat, bahwa kematian itu terasa dekat dan ianya merupakan kepastian, hanya saja jalannya yang kita tidak sangka. Menjadi pengingat besar untukku, bahwa Allah masih memberi kesempatan untuk diriku untuk introspeksi, bertaubat, berbuat lebih baik lagi, karena kematian itu dekat. Bagaimana jika nyawaku saat itu yang diambil oleh Allah? Terlepas semua kenikmatan dunia, menghadapi alam kubur hingga menunggu pengadilannya yang besar kelak.

Yang kedua yang ingin aku ceritakan adalah untuk diriku dan kawan-kawan #IndonesiaTanpaJIL, sebuah gerakan dakwah kreatif, yang berfungsi memberikan awareness kepada masyarakat tentang bahasanya pemikiran Islam liberal.

Cerita ini sebenernya malu aku ceritakan, bahkan aib terbesar dalam diriku, tetapi tulisan ini sebagai bentuk pertanggungjawabanku.
Sabtu, 20 April 2013 sepulang dari acara bedah buku #IndonesiaTanpaLiberal di UIN Suka, aku berboncengan dengan temen untuk mengembalikan buku-buku ke penerbit Gema Insani Press. Di perjalanan aku nyeletuk “seumur-umur, gue belum pernah baca buku ustadz jefry. Koq ga rajin bikin buku ya? Koq ya malah bikin album lagu. Ga kayak ustadz Adian Husaini, rajin nulis buku. Ini baru ustadz” begitu aku berkata dengan nada yang cukup meremehkan. Bahkan sering dalam hati aku berkata, itu ustadz-ustadz ditipi koq pada gitu ya, ceramah koq kayak entertain gitu, isinya ketawa ketiwi. Kalau ustadz itu harusnya kayak ustadz Adian, Gus Hamid, Daud Rasyid, aahh begitulah yang pernah mengisi hatiku. Isinya mencibir ustadz, termasuk Ustadz Jefry.

Begitu mendengar berita wafatnya beliau, hatiku terhenyak.., deggg, ini Ustadz yang sempet aku “nyinyirin” minggu kemarin. Astaghfirullah. L  Betapa kotor hatiku yang ngakunya sebagai aktivis dakwah, ternyata memiliki pemikiran macam itu, belum sempatpun aku meminta maaf pada beliau karena prasangka buruk, beliau sudah dipanggil oleh Allah.

Melihat berita di televisi, liputan khusus buat beliau, berbagai testimoni dari temen dan saudara, betapa banyak yang mendapatkan nasihat dan mendapatkan hidayah setelah mendengar ceramah-ceramah beliau, bahkan jenazah beliau disholatkan di mesjid Istiqlal yang dihadiri ribuan jama’ah dan dido’akan jutaan umat muslim di seluruh Indonesia. Sementara aku? Kalau aku wafat nanti gimana? Apakah testimoni yang berdatangan ungkapan baik/buruk?  Apakah kelak aku akan didoakan oleh orang banyak? Jangan-jangan aku mudah begitu dilupakan?

Lalu kenapa aku masih bisa sombong? Bisa dengan gampang meremehkan bahkan mencibir beliau yang telah berbuat begitu banyak untuk Islam. Sementara aku? Siapa yang mengenal seorang Aspian Noor? seorang yang tak kunjung lulus kuliahnya, karya-karyanya tidak ada, lebih banyak menyusahkan orang lain. Seorang yang mengaku aktifis dakwah #IndonesiaTanpaJIL, namun begitu lalai mengelola hati dan lisan. Astaghfirullah L

Ustadz Jefry bersama kawan-kawan #IndonesiaTanpaJIL
Ustadz Jefry sangat mendukung penuh gerakan #IndonesiaTanpaJIL, tetapi aku masih sempat-sempatnya mencibir beliau seolah-olah beliau tidak memiliki karya untuk dakwah Islam. Aku tersadar, apa sih yang sudah kuberikan untuk Islam? Menjadi Aktifis #ITJ? Apa benar aktifitas dakwahku dicatat oleh Allah sebagai nilai-nilai kebaikan? Bagaimana bisa bernilai kebaikan, jika dalam diriku masih terdapat rasa dengki,dan iri. Bukankah rasa dengki itu dapat menghapus amalan sebagaimana api memakan kayu bakar. Ya Allah L. Dengan ini, aku memohon maaf kepada keluarga beliau dan kepada seluruh umat muslim di Indonesia.

Kepada kawan-kawanku aktifis #IndonesiaTanpaJIL, kitalah yang memegang estafet dakwah. Ustadz Jefry dikenal dengan ustadz yang dekat dengan dunia anak muda, begitu pula gerakan dakwah kita. Teruslah berkreasi dalam dakwah. Sampaikan kebenaran dengan lantang. Niatkan bahwa semua yang kita lakukan untuk Islam, Allahu Ghayatunna.

Cukuplah kita disibukkan dengan amalan-amalan masing-masing. Seperti Syaikh Hasan Al Banna berpesan bahwa kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia, bantulah orang lain agar dapat memanfaatkan waktunya. Jangan sampai kita mempunyai hobi menghitung-hitung amal orang lain, sehingga kita lupa akan amal kita sendiri. Saling bantu membantu dalam kebajikan dan ketakwaan itulah yang menjadi prioritas dakwah kita.

Demikian tulisan ini dibuat, khususnya untuk diriku, untuk sahabat2ku #IndonesiaTanpaJIL dan khususnya untuk Ustadz Jefry Al Buchori Allahuyarham. Semoga Allah melimpahkan pahala untukmu, mengampuni segala dosamu, melampangkan kuburmu dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan sabar dan ikhlas.

Uje, Aku mencintaimu karena Allah.


“Cukuplah kematian  sebagai pemberi nasihat dan pelajaran” – Amr bin Yasir RA

@aspin4565


2 komentar:

Nanung Nur Zula mengatakan...

:-)

Anonim mengatakan...

Buat Bung Aspian Noor kau itu Tolol dan dungu kulihat di twitter...